rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Sabtu, 09 April 2011

Arti Penting Psikologi Pendidikan Bagi Guru


Secara etimologis, psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup, dan “logos” atau ilmu. Dilihat dari arti kata tersebut seolah-olah psikologi merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu pada salah satu syarat ilmu yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah tepat jika kita mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa, karena jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak bisa diamati secara langsung.
psikologi Pendidikan dan Guru
Berkenaan dengan obyek psikologi ini, maka yang paling mungkin untuk diamati dan dikaji adalah manifestasi dari jiwa itu sendiri yakni dalam bentuk perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, psikologi kiranya dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Psikologi terbagi ke dalam dua bagian yaitu psikologi umum (general phsychology) yang mengkaji perilaku pada umumnya dan psikologi khusus yang mengkaji perilaku individu dalam situasi khusus, diantaranya :
  • Psikologi Perkembangan; mengkaji perilaku individu yang berada dalam proses perkembangan mulai dari masa konsepsi sampai dengan akhir hayat.
  • Psikologi Kepribadian; mengkaji perilaku individu khusus dilihat dari aspek – aspek kepribadiannya.
  • Psikologi Klinis; mengkaji perilaku individu untuk keperluan penyembuhan (klinis)
  • Psikologi Abnormal; mengkaji perilaku individu yang tergolong abnormal.
  • Psikologi Industri; mengkaji perilaku individu dalam kaitannya dengan dunia industri.
  • Psikologi Pendidikan; mengkaji perilaku individu dalam situasi pendidikan
Disamping jenis – jenis psikologi yang disebutkan di atas, masih terdapat berbagai jenis psikologi lainnya, bahkan sangat mungkin ke depannya akan semakin terus berkembang, sejalan dengan perkembangan kehidupan yang semakin dinamis dan kompleks.
Psikologi pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu ilmu karena didalamnya telah memiliki kriteria persyaratan suatu ilmu, yakni :
  • Ontologis; obyek dari psikologi pendidikan adalah perilaku-perilaku individu yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan pendidikan, seperti peserta didik, pendidik, administrator, orang tua peserta didik dan masyarakat pendidikan.
  • Epistemologis; teori-teori, konsep-konsep, prinsip-prinsip dan dalil – dalil psikologi pendidikan dihasilkan berdasarkan upaya sistematis melalui berbagai studi longitudinal maupun studi cross sectional, baik secara pendekatan kualitatif maupun pendekatan kuantitatif.
  • Aksiologis; manfaat dari psikologi pendidikan terutama sekali berkenaan dengan pencapaian efisiensi dan efektivitas proses pendidikan.
Dengan demikian, psikologi pendidikan dapat diartikan sebagai salah satu cabang psikologi yang secara khusus mengkaji perilaku individu dalam konteks situasi pendidikan dengan tujuan untuk menemukan berbagai fakta, generalisasi dan teori-teori psikologi berkaitan dengan pendidikan, yang diperoleh melalui metode ilmiah tertentu, dalam rangka pencapaian efektivitas proses pendidikan.
Pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari psikologi. Sumbangsih psikologi terhadap pendidikan sangatlah besar. Kegiatan pendidikan, khususnya pada pendidikan formal, seperti pengembangan kurikulum, Proses Belajar Mengajar, sistem evaluasi, dan layanan Bimbingan dan Konseling merupakan beberapa kegiatan utama dalam pendidikan yang di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari psikologi.
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang di dalamnya melibatkan banyak orang, diantaranya peserta didik, pendidik, adminsitrator, masyarakat dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan tersebut seyogyanya dapat memahami tentang perilaku individu sekaligus dapat menunjukkan perilakunya secara efektif.
Guru dalam menjalankan perannya sebagai pembimbing, pendidik dan pelatih bagi para peserta didiknya, tentunya dituntut memahami tentang berbagai aspek perilaku dirinya maupun perilaku orang-orang yang terkait dengan tugasnya,–terutama perilaku peserta didik dengan segala aspeknya–, sehingga dapat menjalankan tugas dan perannya secara efektif, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.
Di sinilah arti penting Psikologi Pendidikan bagi guru. Penguasaan guru tentang psikologi pendidikan merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru, yakni kompetensi pedagogik. Muhibbin Syah (2003) mengatakan bahwa “diantara pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai guru dan calon guru adalah pengetahuan psikologi terapan yang erat kaitannya dengan proses belajar mengajar peserta didik”
Dengan memahami psikologi pendidikan, seorang guru melalui pertimbangan – pertimbangan psikologisnya diharapkan dapat :
1. Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat.
Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru akan dapat lebih tepat dalam menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan pembelajaran. Misalnya, dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang taksonomi perilaku individu dan mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan individu.
2. Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai.
Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami siswanya.
3. Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.
Tugas dan peran guru, di samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing para siswanya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya diharapkan guru dapat memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses hubungan interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.
4. Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.
Memfasilitasi artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa, seperti bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya memberikan dorongan kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai, tampaknya guru akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator maupun motivator belajar siswanya.
5. Menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.
6, Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang menyenangkan di hadapan siswanya.
7. Menilai hasil pembelajaran yang adil.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan dapat mambantu guru dalam mengembangkan penilaian pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.

Tentang Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) Tahun 2011


Berdasarkan hasil rapat Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia di Jakarta pada tanggal 4 November 2010, para Rektor Perguruan Tinggi Negeri di bawah koordinasi Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional menyelenggarakan seleksi calon mahasiswa baru secara nasional dalam bentuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
SNMPTN Tahun 2011
SNMPTN 2011 merupakan satu-satunya pola seleksi yang dilaksanakan secara bersama oleh seluruh Perguruan Tinggi Negeri dalam satu sistem yang terpadu dan diselenggarakan secara serentak.
SNMPTN 2011 akan dilaksanakan melalui:  (1) jalur undangan berdasarkan penjaringan prestasi akademik, dan (2) jalur ujian tertulis dan/atau keterampilan.
A. Seleksi Jalur Undangan
1. Tujuan:
Untuk dapat menjaring calon mahasiswa yang mempunyai prestasi akademik tinggi di SLTA seluruh Indonesia perlu dilakukan seleksi secara nasional melalui suatu kepanitiaan SNMPTN Jalur Undangan yang bertujuan :
  1. Mendapatkan mahasiswa baru yang mempunyai prestasi akademik tinggi di SLTA
  2. Memberikan kesempatan kepada seluruh anak bangsa yang berprestasi akademik tinggi untuk memperoleh pendidikan tinggi.
  3. Memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada sekolah untuk menjadi bagian pelaksana seleksi awal di tingkat sekolah.
2. Persyaratan Siswa Pelamar
  1. Siswa SMA/SMK/MA/MAK yang sedang duduk di kelas 12 dan akan mengikuti UN pada tahun 2011.
  2. Siswa yang memperoleh rekomendasi dari Kepala Sekolah dan memiliki prestasi akademik terbaik dengan peringkat sebagai berikut:
Akreditasi Sekolah Jenis kelas Peringkat siswa dalam kelas
A Akselerasi 100% (semua siswa)
A RSBI/Unggulan 75% terbaik
A Reguler 50% terbaik
B Reguler 25% terbaik
C Reguler 10% terbaik
3. Jadwal Seleksi
  • Pendaftaran : 1 Februari – 12 Maret 2011
  • Pengumuman : 18 Mei 2011
  • Registrasi : 31 Mei dan/atau 1 Juni 2011
Pendaftaran SNMPTN 2011 Jalur Undangan dapat dilakukan secara online melalui laman (website) : http://undangan.snmptn.ac.id
B. Seleksi Jalur Ujian Tertulis dan/atau Keterampilan
Persyaratan dan Ketentuan
1. Seleksi
  • Lulus Ujian Nasional SMA/MA/SMK/MAK atau yang setara tahun 2009, 2010, dan 2011. Bagi lulusan tahun 2009 dan 2010, memiliki ijazah SMA/MA/SMK/MAK atau yang setara dan bagi lulusan tahun 2011 telah memiliki Surat Keterangan Lulus (SKL) dari Kepala Sekolah yang dilengkapi dengan pasfoto yang bersangkutan dan dicap.
  • Memiliki kesehatan yang memadai, sehingga tidak mengganggu kelancaran proses pembelajaran di perguruan tinggi.
  • Tidak buta warna bagi program studi tertentu.
2. Penerimaan
Lulus Ujian Nasional, lulus ujian tertulis dan atau keterampilan SNMPTN 2011, sehat, dan memenuhi persyaratan lain yang ditentukan oleh masing-masing PTN penerima.
3. Jadwal Pendaftaran dan Ujian
  1. Pendaftaran : 2 – 24 Mei 2011
  2. Ujian Tertulis
    Selasa, 31 Mei 2011 : Tes Potensi Akademik


    Tes Bidang Studi Dasar



    Rabu, 01 Juni 2011 : Tes Bidang Studi IPA


    Tes Bidang Studi IPS
  3. Ujian  Keterampilan
    Ujian Keterampilan dilaksanakan pada tanggal 3 dan 4 Juni 2011.
Pendaftaran SNMPTN 2011 jalur ujian tertulis dan/atau keterampilan dapat dilakukan secara online melalui laman (website) : http://ujian.snmptn.ac.id.
Informasi selengkapnya tentang Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) Tahun 2011,  silahkan kunjungi laman website ini http://snmptn.ac.id/

ILMU, FILSAFAT, AGAMA (makalah)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kesungguhan dalam menemukan sesuatu kebenaran melahirkan keyakinan tersendiri. Tetapi disini harus saling melengkapi artinya untuk menemukan sesuatu yang benar-benar sesungguhnya dilihat dari berbagai sisi maksudnya dari mulai akal, serta wahyu.
Hal ini terutama ilmuselalu exis bahkan merupakan salh satu alat untuk pencarian pengetahuan atau sesuatu. Begitu juga filsapat yang has dalam pencarian hakikat sesuatu. Hanya juga agama dijadikan modal sekaligus pondamentalis dalam mendapatkan kebenaran.

1.2. Rumusan Masalah
1. Definisi Ilmu
2. Definisi Filsapat
3. Definisi Agama
4. Hubungan Ilmu, Filsapat dan Agama
1.3. Tujuan
Agar bisa menemukan sesuatu yang sebenarnya dilihat dari berbagai bentuk ilmu, filsapa dan agama.


BAB II
PEMBAHASAN


1. DEFINISI ILMU
Definisi ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam). Mohammad Hatta-- Definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan. Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati panca indera manusia.Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..."
Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera-indera masing-masing individu dalam menyerap pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memroses pengetahuan yang diperolehnya. Selain itu juga, definisi ilmu bisa berlandaskan aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri. Kita dapat melihat hal itu melalui metode yang digunakannya.

Sifat-sifat ilmu
Dari definisi yang diungkapkan Mohammad Hatta dan Harjono di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang...
Berdiri secara satu kesatuan,
Tersusun secara sistematis,
Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan data),
Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.
Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat dimengerti dan dipahami maknanya.
Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di mana saja dan kapan saja di seluruh alam semesta ini.
Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan-pengatahuan dan penemuan-penemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang lebih berkembang dari sebelumnya.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab, definisi pengetahuan itu sendiri sebagai berikut: Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas panca indera untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dari pengetahuan.

Mengapa ilmu hadir?
Pada hakekatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal yang ada maupun yang sedang terjadi di sekitarnya. Sebab, banyak sekali sisi-sisi kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh sebab itulah, timbul pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi ilmu.

Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia.

Dengan apa manusia memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu?
Pengetahuan kaidah berpikir atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu keadaan. Ilmu pun dapat berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir manusia.

2. DEFINISI FILSAPAT
Menurut Ahmad Sadali dan Mudzakir Filsapat adalah pengetahhuan tentang sesuatu yang non-empirik dan non-eksperimental diperoleh manusia dengan usaha melalui pikiran yang mendalam.
Poedja wijatma (1974:11) mendefinisikan dilsapat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
Hasbullah Bakri (1971:11) mendefinisikan bahwa filsapat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Aristoteles mendefinisikan fislapat sebagai pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung didalam metadisika, logika, retorika, ekonomi, politik serta estetika. Bagi Alfarabi Filsapat ialah pengetahuan tentang alam wujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Imanuel kant mendefinisikan Filsapat sebagai pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup meliputi :
- Apa yang dapat diketahui? (jawabannya metafisika)
- Apa yang seharusnya diketahui? (jawabannya etika)
- Sampai dimana harapan kita ? (jawabannya Agama)
- Apa itu manusia ? (jawabannya antropologi)

3. DEFINISI AGAMA
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.


Beberapa pendapat
Dalam bahasa Sansekerta Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "tradisi".Dalam bahasa Sansekerta artinya tidak bergerak (Arthut Mac Donnell).
Agama itu kata bahasa Sansekerta (yaitu bahasa agama Brahma pertama yang berkitab Veda) ialah peraturan menurut konsep Veda (Dr. Muhammad Ghalib).
Dalam bahasa Latin Agama itu hubungan antara manusia dengan manusia super (Servius)
Agama itu pengakuan dan pemuliaan kepada Tuhan (J. Kramers Jz)
Dalam bahasa Eropa Agama itu sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan tenaga akal dan pendidikan saja (Mc. Muller dan Herbert Spencer)
A.S. Hornby, E.V Gatenby dan Wakefield mengomentari bahwa Agama itu kepercayaan kepada adanya kekuasan mengatur yang bersifat luar biasa, yang pencipta dan pengendali dunia, serta yang telah memberikan kodrat ruhani kepada manusia yang berkelanjutan sampai sesudah manusia mati
Dalam bahasa Indonesia
Drs. Sidi Gazalba menyatakan bahwa Agama itu hubungan manusia Yang Maha Suci yang dinyatakan dalam bentuk suci pula dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.
Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997)
Dalam bahasa Arab Agama dalam bahasa arab ialah din, yang artinya :
• taat
• takut dan setia
• paksaan
• tekanan
• penghambaan
• perendahan diri
• pemerintahan
• kekuasaan
• siasat
• balasan
• adat
• pengalaman hidup
• perhitungan amal
• hujan yang tidak tetap turunnya
Sinonim kata din dalam bahasa arab ialah milah. Bedanya, milah lebih memberikan titik berat pada ketetapan, aturan, hukum, tata tertib, atau doktrin dari din itu.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri , yaitu :
• menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
• menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.


Cara Beragama
Berdasarkan cara beragamanya :
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.


4. HUBUNGAN ANTARA ILMU, FILSAFAT, AGAMA
Ilmu, filsapat serta agama mempunyai hubungan yang kuat terkait pada manusia, karena ke tiga tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan pada manusia, yakni ketiga tersebut ada potensinya pada manusia yaitu, akal, rasa dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga tersebut manusia dapat merasakan dan meraih sesuatu ykepuasan dari hidupnya yakni kebahagiaan dan tujuannya.
Ilmu mendasar pada akal, filsapat mendasar pada otoritas akal murni secara radikal pada kenyataan dan agama mendasar pada wahyu.
Prof. Nasroen, S.H., menerangkan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasar pada agama karena filsapat terkandung dalam agama. Bila filsafat tidak terkandung pada agama maka filsapat itu akan memuat kebenaran objektif karena segala sesuatunya dengan pikiran akal. Sedangkan kemampuan akal itu terbatas, dan tidak mungkin untuk menerima pada hal-hal yang gaib.
Sebagaian ada yang menyatakan bahwa hubungan Ilmu, Filsapat dan Agama adalah:
a. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Ilmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu keterangan rasional tentang sebab-musabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan Rasional.
Pada hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magi dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional.
Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala sesuatu Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’ daripada segala yang ada yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui.
Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya.
Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam berbagai disiplin keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang hakikat manusia sebagainya. Ketidakmampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat tempat menampung dan mengelolahnya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia.
b. Definisi Ilmu Pengetahuan dan Filsafat. Arthur Thompson dalam bukunya” An Introducation to Science” menuliskan bahwa ilmu adalah diskripsi total dan konsisten dari fakta-fakta empiri yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah- istilah yang sederhana mungkin. Untuk menjelaskan perbedaan antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, baiklah dikemukakan rumusan Filsafat dari filsuf ulung Indonesia Prof. DR. N. Driyarkara S.Y., yang mengatakan “Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat- pendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Jika filsafat misalnya bicara tentang masyarakat, hukum, sisiologi, kesusilaan dan sebagainya, di satu pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan ‘ke’mengapa’ yang terakhir sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan kekuatannya itu. “Filsafat adalah ilmu Pengetahuan dan Teknologi, filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam bidang penyelidikan. Ilmu pengetahuan dan Teknologi bahkan melambung tinggi mencapai era nuklir dan sudah diambang kemajuan dalam mempengaruhui penciptaan dan reproduksi manusia itu sendiri dengan revolusi genitika yang bermuara pada bayi tabung I di Inggris serta diambang kelahiran kurang lebih 100 bayi tabung yang sudah hamil tua. Di satu pihak fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, berupa penciptaan sarana yang memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia untuk hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah dampak positifnya disatu pihak sedangkan dipihak lainnya bdampak negatifnya sangat menyedihkan. Bahwa ilmu yang bertujuan menguasai alam, sering melupakan faktor eksitensi manusia, sebagai bagian daripada alam, yang merupakan tujuan pengembangan ilmu itu sendiri kepada siapa manfaat dan kegunaannya dipersembahkan. Kemajuan ilmu teknologi bukan lagi meningkatkan martabat manusia itu, tetapi bahkn harus dibayar dengan kebahagiaannya. Berbagai polusi dan dekadensi dialami peradaban manusia disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Dalam usahanya pendidikan keilmuwan bukanlah semata-mata ditujukan untuk menghasilkan ilmuwan yang pandai dan trampil, tetapi juga bermoral tinggi.
c. Abstraksi
Untuk menerangkan selanjutnya hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, baiklah dikemukakan pendapat Aristoteles tentang abstraksi. Menurut beliau pemekiran manusia melampaui 3 jenis abstraksi (kata Latin ‘abstrahere’ yang berarti menjauhkan diri)
Percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengelanakan atau mengembarakan akal budi secara redikal (mengakar), dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam),tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan tangannya sendiri yang disebut ’logika’ Manusia dalam mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagi masalah asasi dari suatu kepada kitab Suci, kondifikasi Firman Allah untuk manusia di permukaan planet bumi ini. Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif, kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif). Dengan demikian terungkaplah bahwa manusia adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran itu terdapat tiga buah jalan yang ditempuh manusia yang sekaligus merupakan institut kebenaran yaitu : Ilmu, filsafat dan Agama


BAB III
KESIMPULAN


Ilmu, filsapat serta agama mempunyai hubungan yang kuat terkait pada manusia, karena ke tiga tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan pada manusia, yakni ketiga tersebut ada potensinya pada manusia yaitu, akal, rasa dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga tersebut manusia dapat merasakan dan meraih sesuatu ykepuasan dari hidupnya yakni kebahagiaan dan tujuannya.
Ilmu mendasar pada akal, filsapat mendasar pada otoritas akal murni secara radikal pada kenyataan dan agama mendasar pada wahyu.
Prof. Nasroen, S.H., menerangkan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasar pada agama karena filsapat terkandung dalam agama. Bila filsafat tidak terkandung pada agama maka filsapat itu akan memuat kebenaran objektif karena segala sesuatunya dengan pikiran akal. Sedangkan kemampuan akal itu terbatas, dan tidak mungkin untuk menerima pada hal-hal yang gaib.


DAFTAR PUSTAKA

• Akrabi Shofie, Pendidikan Agama Islam, Gunung Pesagi. Bandar Lampung 2006
• Syadali Ahmad Mudzakir, Filsafat Umum, Pustaka Setia, Bandung 1997
• Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sianr Harapan, Jakarta 2005
• "http://id.wikipedia.org/wiki/Agama"
• MH, Amin Jaiz, Pokok-pokok Ajaran Islam, Korpri Unit PT. Asuransi Jasa Indonesia Jakarta, 1980
• http://www.anneahira.com/ilmu/index.htm
• http://yudhim.blogspot.com/2008/01/hubungan-ilmu-pengetahuan-filsafat-dan.html

oleh :
BUBUNG NIZAR PAMUNGKAS

Agen Perubahan/Change Agent (makalah)

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
pendidikan dasar dan menengah-sebenarnya jalan di tempat. Selama ini pendidikan nasional hanya mampu melahirkan siswa-siswa yang hanya pandai menjawab soal-soal semata, namun lebih dari itu siswa tidak peka dan tidak memiliki kemampuan menjawab lembar realitas di lapangan kenyataan. Padahal, setiap tahun, lahir 2,5 juta angkatan kerja baru, dengan pertumbuhan ekonomi 4 persen, berarti hanya 1,6 juta dari angkatan kerja tersebut yang dapat menjamah lapangan kerja. Bagaimana dengan sisanya kalau bukan menjadi penganggur terdidik.
Itu terjadi karena memang selama ini kita bersekolah yang dikejar hanya sekadar lulus dan itu diamini setiap tahunnya, tanpa reaksi keras atau perlawanan dari guru sendiri. UN selama ini memasung guru sebagai sosok yang terkesan hanya mengurusi pensiasatan soal-soal daripada proses dalam membangun pembelajaran yang bermakna dan memanusiakan. Timbullah mekanisasi sehingga siswa itu tak ubahnya seperti mesin-mesin yang hanya mampu menjawab soal-soal belaka.
Singkatnya, UN hanya mengukur hasil bukan proses. Yang terjadi kemudian, siswa di-drill sedemikian rupa agar mendapat nilai yang tinggi. Sementara itu, sekolah melupakan tanggung jawabnya untuk mengasosiasikan keilmuan siswa dengan kenyataan hidup yang semakin sulit. Dapatkah sekolah menjawabnya tanpa guru sebagai agennya?
Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru tidak perlu lagi menjadi “pengkhutbah” yang terus berceramah dan menjejalkan bejibun teori kepada siswa didik.
Sudah bukan zamannya lagi anak diperlakukan bagai “keranjang sampah” yang hanya sekadar menjadi penampung ilmu. Peserta didik perlu diperlakukan secara utuh dan holistik sebagai manusia-manusia pembelajar yang akan menyerap pengalaman sebanyak-banyaknya melalui proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu, kelas perlu didesain sebagai “masyarakat mini” yang mampu memberikan gambaran bagaimana sang murid berinteraksi dengan sesamanya. Dengan kata lain, kelas harus mampu menjadi “magnet” yang mampu menyedot minat dan perhatian siswa didik untuk terus belajar, bukan seperti penjara yang mengkrangkeng kebebasan mereka untuk berpikir, berbicara, berpendapat, mengambil inisiatif, atau berinteraksi.
Saya kira tak ada seorang pun yang bisa membantah bahwa guru memiliki peran yang amat vital dalam proses pembelajaran di kelas. Gurulah yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak lanjut. Dalam konteks demikian, gurulah yang akan menjadi “aktor” penentu keberhasilan siswa didik dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan hakiki.
  1. Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk:
1.      Memberikan gambaran tentang Agen Perubahan (change Agent) serta peran dan fungsinya dalam dunia pendidikan
2.      Memenuhi tugas perkuliahan “Difusi Inovasi Pendidikan”.
  1. Perumusan dan Pembatasan Masalah:
Dari uraian pada latar belakang di atas, dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan:
1.      Apa pengertian, fungsi dan tugas seorang Agen Perubahan?
2.      Bagaimana peran Guru sebagai seorang Agen Perubahan ?
Pada makalah ini, kami membatasi permasalahan hanya tentang Guru sebagai Agen Perubahan.

BAB II
AGEN PERUBAHAN
A.     Pengertian
Agen pembaharu (chage agent) adalah orang yang bertugas mempengaruhi klien agar mau menerima inovasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh pengusaha pembaharuan (change agency). Pekerjaan ini mencakup berbagai macam pekerjaan seperti guru, konsultan, penyuluh kesehatan, penyuluh pertanian dan sebagainya. Semua agen pembaharu bertugas membuat jalinan komunikasi antara pengusaha pembaharuan (sumber inovasi) dengan sistem klien (sasaran inovasi).

Tugas utama agen pembaharu adalah melancarkan jalannya arus inovasi dari pengusaha pembaharuan ke klien. Proses komunikasi ini akan efektif jika inovasi yang disampaikan ke klien harus dipilih sesuai dengan kebutuhannya atau sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Agar jalinan komunikasi dalam proses difusi ini efektif, umpan balik dari sistem klien harus disampaikan kepada pengusaha pembaharuan melalui agen pembaharu. Dengan umpan balik ini pengusaha pembaharuan dapat mengatur kembali bagaimana sebaiknya agar komunikasi lebih efektif.

Jika tidak terdapat kesenjangan sosial dan teknik antara pengusaha pembaharuan dan klien dalam proses difusi inovasi, maka tidak perlu agen pembaharu. Tetapi biasanya pengusaha pembaharu adalah orang-orang ahli dalam inovasi yang sedang didifusikan, oleh karena itu terjadi kesenjangan pengetahuan sehingga dapat terjadi hambatan komunikasi. Disinilah pentingnya agen pembaharu untuk penyampaian difusi inovasi agar dapat mudah diterima oleh klien.

Agen pembaharu harus mampu menjalin hubungan baik dengan pengusaha pembaharuan dan juga dengan sistem klien. Adanya kesenjangan heterophily pada kedua sisi agen pembaharu dapat menimbulkan masalah dalam komunikasi. Sebagai penghubung antara kedua sistem yang berbeda sebaiknya agen pembaharu bersikap marginal, ia berdiri dengan satu kaki pada pengusaha pembaharu dan satu kaki yang lain pada klien. Keberhasilan agen pembaharu dalam melancarkan proses komunikasi antara pengusaha pembaharu dengan klien, merupakan kunci keberhasilan proses difusi inovasi. Selain itu agen pembaharu melakukan seleksi informasi untuk dapat disesuaikan dengan masalah dan kebutuhan klien.














 

PENGUSAHA
PEMBAHARUAN
(CHANGE AGENCY)








 

Arus Inovasi dari pengusaha pembaharu ke klien
 
AGEN PEMBAHARU
Arus kebutuhan dan umpan balik dari klien ke pengusaha pembaharu
 
SEBAGAI PENGHUBUNG


 


SISTEM KLIEN
(CLIENT SISTEM)







Gambar 1. Agen Pembaharu sebagai penghubung antara pengusaha pembaharu dengan klien (Rogers, 1983, hal 314)


B.     Fungsi dan Tugas Agen Pembaharu

Fungsi utama agen pembaharu adalah sebagai penghubung antara pengusaha pembaharuan (change agency) dengan klien, tujuannya agar inovasi dapat diterima atau diterapkan oleh klien sesuai dengan keinginan pengusaha pembaharuan. Kunci keberhasilan diterimanya inovasi oleh klien terutama terletak pada komunikasi antara agen pembaharu dengan klien. Jika komunikasi lancar dan efektif proses penerimaan inovasi akan lebih cepat dan makin mendekati tercapainya tujuan yang diinginkan. Sebaliknya jika komunikasi terhambat makin tipis harapan diterimanya inovasi. Oleh karena tugas utama yang harus dilakukan agen pembaharu adalah memantapkan hubungan dengan klien. Kemantapan hubungan antara agen pembaharu dengan klien, maka komunikasi akan lebih lancar.

Rogers, mengemukakan ada tujuh langkah kegiatan agen pembaharu dalam pelaksanaan tugasnya inovasi pada sistem klien, sebagai berikut.

1.      Membangkitkan kebutuhan untuk berubah.
Biasanya agen pembaharu pada awal tugasnya diminta untuk membantu kliennya agar mereka sadar akan perlunya perubahan.Agen pembaharu mulai dengan mengemukakan berbagaimasalah yang ada, membantu menemukan masalah yang penting dan mendesak, serta meyakinkan klien bahwa mereka mampu memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini agen pembaharu menentukan kebutuhan klien dan juga membantu caranya menemukan masalah atau kebutuhan dengan cara konsultatif.

2.      Memantapkan hubungan pertukaran informasi. Sesudah ditentukannya kebutuhan untuk berubah, agen pembaharu harus segera membina hubungan yang lebih akrab dengan klien. Agen pembaharu dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik kepada klien dengan cara menumbuhkan kepercayaan klien pada kemampuannya, saling mempercayai dan juga agen pembaharu harus menunjukan empati pada masalah dan kebutuhan klien .

3.      Mendiagnosa masalah yang dihadapi. Agen pembaharu bertanggung jawab untuk menganalisa situasi masalah yang dihadapi klien, agar dapat menentukan berbagai alternatif jika tidak sesuai kebutuhan klien. Untuk sampai pada kesimpulan diagnosa agen pembaharu harus meninjau situasi dengan penuh emphati. Agen pembaharu melihat masalah dengan kacamata klien, artinya kesimpulan diagnosa harus berdasarkan analisa situasi dan psikologi klien, bukan berdasarkan pandangan pribadi agen pembaharu.

4.      Membangkitkan kemauan klien untuk berubah. Setelah agen pembaharu menggali berbagai macam cara yang mungkin dapat dicapai oleh klien untuk mencapai tujuan, maka agen pembaharu bertugas untuk mencari cara memotivasi dan menarik perhatian agar klien timbul kemauannya untuk berubah atau membuka dirinya untuk menerima inovasi. Namun demikian cara yang digunakan harus tetap berorientasi pada klien, artinya berpusat pada kebutuhan klien jangan terlalu menoinjolkan inovasi.

5.      Mewujudkan kemauan dalam perbuatan. Agen pembaharu berusaha untuk mempengaruhi tingkah laku klien dengan persetujuan dan berdasarkan kebutuhan klien jadi jangan memaksa. Dimana komunikasi interpersonal akan lebih efektif kalau dilakukan antar teman yang dekat dan sangat bermanfaat kalau dimanfaatkan pada tahap persuasi dan tahap keputusan inovasi. Oleh kerena itu dalam hal tindakan agen pembaharu yang paling tepat menggunakan pengaruh secara tidak langsung, yaitu dapat menggunakan pemuka masyarakat agar mengaktifkan kegiatan kelompok lain.

6.      Menjaga kestabilan penerimaan inovasi dan mencegah tidak berkelanjutannya inovasi. Agen pembaharu harus menjaga kestabilan penerimaan inovasi dengan cara penguatan kepada klien yang telah menerapkan inovasi. Perubahan tingkah laku yang sudah sesuai dengan inovasi dijaga jangan sampai berubah kembali pada keadaan sebelum adanya inovasi.

7.      Mengakhiri hubungan ketergantungan. Tujuan akhir tugas agen pembaharu adalah dapat menumbuhkan kesadaran unrtuk berubah dan kemampuan untuk merubah dirinya, sebagai anggota sistem sosial yang selalu mendapat tantangan kemajuan jaman. Agen pembaharu harus berusaha mengubah posisi klien dari ikatan percaya pada kemampuan agen pembaharu menjadi bebas dan percaya kepada kemampuan sendiri.





BAB III
PEMBAHASAN

A.    Orientasi Teoritik Tentang Agent of Change
Hakikat pembelajaran adalah ’suatu proses perubahan tingkah laku anak’ (Wuryani, 2002; Sagala, S. 2006), yaitu perubahan dari tidak baik menjadi baik, dari tidak bisa mengerjakan sesuatu menjadi bisa mengerjakan sesuatu. Persoalan yang muncul adalah, faktor apakah yang paling menentukan bagi setiap individu mampu melakukan suatu perubahan dalam hidupnya?.
Beragam teori telah dikemukakan oleh para ahli untuk menjawab persoalan tersebut, baik teori-teori yang berorientasi pada paham positivisme maupun idealisme (Lauer, R., 1978). Dalam analisis kajian ini, penulis lebih menekankan pada teori-teori yang berorientasi pada pandangan idealisme atau konstruktivisme, yang menempatkan faktor pikiran dan jiwa individu sebagai penentu terjadinya perubahan sosial-budaya (Sztompka. 2004), sedangkan teori-teori yang berorientasi positivis tidak dijelaskan atau tidak dijadikan sebagai orientasi dalam kajian ini.
Diantara teori yang berorientasi idealisme dalam memandang makna, penyebab dan agen pendorong perubahan sosial-budaya adalah:
1.      Teori ’kepribadian kreatif’ oleh Everette Hagen. Diantara asumsi dasar teori ini adalah:
(a) faktor kunci terjadinya perubahan sosial-budaya ditentukan oleh kondisi psikologi atau kepribadian kreatif individu;
(b) kepribadin individu yang selalu mendorong ke arah perubahan adalah kepribadian kreatif atau inovatif; dan
(c) ciri kepribadian kreatif atau inovatif adalah menjunjung tinggi pengetahuan, otonomi, keteraturan hidup, humanis dan disiplin nurani serta tegas atau adil (Hagen, E., 1962).
Jadi, menurut teori ini faktor kunci terjadinya perubahan sosial-budaya, termasuk aspek pembelajaran budaya di sekolah adalah berkembangnya kepribadian kreatif pada diri warga sekolah (pendidik, tenaga kependidikan dan siswa).


2.      Teori ‘kebutuhan berprestasi’ yang dikenal ‘need for achievement atau n-Ach’ oleh David Mc. Cleeland. Diantara asumsi pokok teori ini adalah:
(a) faktor utama penyebab terjadinya perubahan sosial-budaya adalah adanya dorongan dari dalam individu (pikiran dan jiwanya) untuk berkarya secara maksimal;
(b) sikap mental selalu ingin berkarya (semangat berprestasi menjadi kebutuhan dasar hidupnya) yang berkembang di masyarakat akan menjadi penyebab perubahan kearah kemajuan; dan
(c) mentalitas n-Ach tersebut harus terus ditanamkan sejak masa kanak-kanak (Mc-Clelland, D., 1961).
Jadi, sejatinya yang menjadi dasar penyebab atau agen perubahan adalah faktor kualitas mental seseorang untuk selalu ingin berkarya dan berprestasi sepanjang usia hidupnya, kebutuhan untuk berkarya bagaikan darah yang mengalir dalam tubuh.
3.      Teori ‘mentalitas modern’ oleh Alex Inkeles dan David Smith. Diantara ciri mentalitas modern yang mendorong terjadinya perubahan adalah:
(a)    cinta pada perkembangan Iptek;
(b)   selalu menjalin kontak dengan pihak lain;
(c)    mentalitas kompetitif dan inovatif;
(d)   orientasi hidup ke masa depan dan menghargai harkat martabat orang lain (Budiman, A,. 1995 ).
Berdasarkan ketiga teori tersebut dapat disimpulkan, bahwa yang menjadi agen perubahan (agent of change) dalam proses kehidupan adalah para individu yang mempunyai kualitas jiwa, pikiran atau mentalitas positif dalam proses-proses sosialnya.
Diantara sikap mental positif yang akan menjadi penggerak perubahan sosial budaya antara lain:
(a) cinta pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
(b) selalu menjalin kontak-komunikasi dengan orang lain atau dunia luar;
(c) menjunjung tinggi prestasi orang lain dan pandangan karya untuk karya; (d) menghargai harkat dan martabat orang lain atau bersikap demokratis-humanis;
(e) menghargai waktu dan berorientasi hidup ke masa depan;
(f) melakukan sesuatu pekerjaan berdasarkan perencanaan yang matang;
(g) merasa tidak puas terhadap karya budaya yang telah ada, dan selalu ingin membaharuhi hidup; dan
(h) menjunjung tinggi nilai atau prinsip, bahwa upah sesuai dengan karya (Budiman, A,. 1995; Sztompka. 2004).
Jadi, ketika seseorang memiliki ciri-ciri: kepribadian kreatif, mentalitas untuk berprestasi, dan mentalitas modern tersebut di atas, maka dia akan mampu berperan sebagai agen perubahan (agent of change) dalam kehidupan kelompoknya (Lauer, R., 1978).

B.     Guru Sebagai Agent of Change Pembelajaran Siswa
Dalam Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS dan Undang Undang No.14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen, bahwa kedudukan, peran dan fungsi guru sangat sentral dalam membangun kualitas pendidikan nasional.
Merujuk pada beberapa peraturan perundangan bidang pendidikan tersebut di atas, baik berupa Undang Undang, Peraturan Pemerintah sampai Permendiknas, pada era sekarang dan akan datang setiap guru harus memiliki empat kompetensi dasar, yaitu:
(1) Kompetensi pedagogik, meliputi:
(a) kemampuan memahami peserta didik;
(b) kemampuan memahami prinsip pembelajaran;
(c) kemampuan melaksanakan prinsip pembelajaran;
(d) kemampuan merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran; dan
(e) kemampuan mengembangkan potensi peserta didik;


(2) Kompetensi kepribadian, meliputi:
(a) kemampuan bertindak sesuai nilai dan norma kehidupan;
(b) konsisten membangun sikap mental positif;
(c) menjunjung tinggi prinsip kemaslahatan hidup; dan
(d) kemampuan mewujudkan akhlak mulia;
(3) Kompetensi sosial, meliputi:
(a) kemampuan menjalin interaksi sosial dengan peserta didik;
(b) kemampuan menjalin interaksi sosial dengan sesama guru;
(c) kemampuan menjalin interaksi sosial dengan tenaga kependidikan;
(d) kemampuan menjalin interaksi sosial dengan orang tua/ wali siswa; dan
(e) kemampuan menjalin interaksi sosial dengan warga masyarakat;
(4) Kompetensi profesional, meliputi:
(a) kemampuan penguasaan materi pembelajaran;
(b) kemampuan menerapkan konsep-konsep keilmuan dengan kehidupan sehari-hari; dan
(c) kemampuan dalam membuat karya ilmiah tenang pendidikan.

Menyimak beragam teori tentang agen perubahan yang telah diuraikan di atas, kemudian dikomperasikan dengan beragam kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
(a) guru termasuk salah satu faktor kunci dalam menentukan kualitas dan keberhasilan proses pembelajaran siswa di kelas;
(b) guru yang memiliki kualitas kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan professional, akan mampu berperan sebagai salah satu agen perubahan (agent of change) pembelajaran siswa di kelas; dan
(c) guru diharapkan tetap konsisten dalam mengajar, membimbing dan mendidik siswa untuk mengembangkan kualitas intelektual, emosional dan spiritualnya dengan prinsip tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarso sung tulodo.
Menurut Chin dan Benne dalam Lauer, R., (1978), ada tiga metode yang dapat digunakan oleh agent of change dalam mendorong atau mempengaruhi terjadinya perubahan sosial budaya, yaitu:
(1) metode rasional–empiris;
(2) metode normatif–edukatif; dan
(3) metode paksaan–kekuasaan.
Apabila mencermati paradigma pembelajaran dan sistem evaluasi yang dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka motode yang dapat digunakan oleh guru sebagai agen perubahan (agent of change) dalam mendorong terjadinya perubahan kualitas pembelajaran siswa di kelas adalah metode pertama (metode rasional–empiris) dipadukan dengan metode kedua (metode normatif–edukatif) (Depdiknas. 2003; BSNP, 2006)
C.    Strategi Meningkatkan Peran Guru Sebagai Agent of Change
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa kondisi kualitas guru di Indonesia secara makro masih belum terberdayakan secara maksimal, dan diantara faktor kunci penyebabnya adalah kondisi mentalitas, motivasi atau dorongon internal guru untuk terus belajar, berinovasi dalam pembelajaran dan terus mengikuti perkembangan Iptek terkini masih relatif rendah (Oemar, H., 2002; Tilaar, 2002; Wahab, A.A., 2007).
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam meningkatkan peran guru sebagai agen perubahan (agent of change) pembelajaran siswa di kelas antara lain: Pertama, membangun kualitas mentalitas positif guru melalui kegiatan pelatihan ’motivasi berprestasi’ dan sejenisnya secara periodik, misalnya pembinaan dan pelatihan ESQ. Meskipun setiap guru secara teoritik telah mengetahui sebagian teori-teori psikologi pembelajaran, dia tetap memerlukan penyegaran orientasi dan wawasan hidup prospektif dari para pakar psikologi atau para motivator dalam menghadapi beragam persoalan pekerjaan sebagai pendidik.
Dalam hal ini fokus pelatihan lebih ditekankan pada upaya membangun konsistensi diri sebagai pendidik sepanjang karir profesinya untuk mengembangkan tentang:
(a) prinsip selalu belajar (learning principle);
(b) prinsip kebutuhan untuk berprestasi (need achievement principle);
(c) prinsip kepemimpinan (leadership principle);
(d) prinsip orientasi hidup ke depan (vision principle); dan
(e) prinsip menjadi pencerah dalam kehidupan kelompok (well organized principle) (Agustian, A.G. 2005; Seligman, M. 2005).
Ketika lima prinsip tersebut terinternalisasi dengan baik pada diri setiap guru, maka guru tersebut akan mampu bertindak sebagai agent of change pembelajaran peserta didik, baik pada aspek emosional, kepribadian dan pengetahuan-ketrampilan peserta didik. Demikian juga sebaliknya, ketika kelima prinsip tersebut tidak menyatu dan tidak berkembang pada diri setiap guru, maka kehadiran guru di kelas hakikatnya kurang berfungsi dalam menyiapkan peserta didik untuk menghadapi beragam tantangan hidup di era globalisasi.
Kedua, menyikapi kondisi guru yang masih belum memahami beragam inovasi pembelajaran dan arti pentingnya pemanfaatan kemajuan teknologi pembelajaran, maka strategi yang dapat dilakukan adalah setiap satuan pendidikan harus mempunyai ’tim ahli inovasi pembelajaran’.
Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan oleh tim ahli inovasi pembelajaran dalam meningkatkan kualitas guru adalah:
(a) melakukan diskusi kolegial tentang pengembangan penguasaan konsep-konsep keilmuan dan perkembangan teknologi terkini;
(b) melakukan penyusunan soal-soal sesuai dengan standar kompetensi kelulusan BSNP;
(c) melakukan penyusunan bahan ajar atau modul dan melakukan pelatihan penggunaan multi media berbasisi IT;
(d) melakukan kegiatan penelitian tindakan kelas;
(e) melibatkan guru dalam proses evaluasi diri sekolah (school self evaluation); dan
(f) memberikan masukan atau diskusi kolegial tentang penerapan metode pembelajaran yang menegakkan pilar-pilar pembelajaran, yaitu: learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning to gether (belajar hidup bersama), dan learning to be (belajar menjadi seseorang) (Djohar, 1999).
Ketika ’tim inovasi pembelajaran’ di setiap satuan pendidikan mampu melaksanakan keenam fungsi tersebut dengan baik dalam pemberdayaan kemampuan guru, maka setiap guru diasumsikan mampu berperan sebagai agent of change pembelajaran siswa di sekolah.

Ketiga, membangun mentalitas kerjasama sebagai team work yang kokoh. Semua guru pada satuan pendidikan dalam proses layanan pendidikan harus menyatu bagaikan satu bangunan kokoh (kesatuan sistem). Proses interaksi dissosiatif sesama pendidik dalam pemberian layanan pendidikan harus diminimalisir (Usman, M.U., 2000; Sanjaya, W. 2007).
Oleh karena itu, dalam konteks pemberian layanan pembelajaran di satuan pendidikan yang berkualitas, seharunya setiap guru senantiasa belajar untuk memajukan satuan pendidikannya melalui enam konsep yaitu:
(1) system thinking;
(2) mental models;
(3) personal mastery;
(d) team learning and teaching;
(e) shared vision; dan
(6) dialog (Peter dalam Soetrisno, 2002).
Dalam membangun kualitas mental guru sebagai suatu team work untuk melaksanakan keenam konsep tersebut, kedudukan dan peran kepala sekolah adalah sangat sentral. Kepala sekolah harus mampu memainkan peran baru (new rules), ketrampilan baru (new skills), dan mampu mengaplikasikan sarana baru dari permasalahan yang timbul (new tools). Kepala sekolah harus:
(a) berperan sebagai perancang (designer) kebijakan strategis terhadap aplikasi keenam konsep tersebut;
(b) berfikir integral dalam mencermati tantangan pendidikan ke depan (visioner).; (c) mampu membangkitkan learning organization;
(d) mendorong setiap guru untuk mengembangkan potensi profesinya secara maksimal; dan
(e) terbuka pada kritik dan saran yang konstruktif; transparan dan tanggungjawab dalam pengelolaan sumber daya sekolah (Arifin, 2007).
Ketika guru pada setiap satuan pendidikan mampu menjalin kerjasama dalam mewujudkan keenam konsep tersebut, diasumsikan mereka akan mampu berperan sebagai agent of change pembelajaran siswa di sekolah dengan baik. Pakar psikologi Seligman, M. (2005), mengatakan ’ketika individu mampu membangun mentalitas positif, misalnya sanggup menjalin komunikasi humanis di setiap kehidupan kelompok, maka individu tersebut akan mampu meraih kebahagiaan dan keberhasilan puncak dalam hidupnya’.

Keempat. Dinas Pendidikan Kota atau Kabupaten, melalui pengawas sekolah terus melakukan pemantauan atau pembinaan terhadap kinerja guru dalam mengimplementasikan empat kompetensi dasar guru profesional.
Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh pengawas dalam proses pembinaan kinerja profesional guru agar mampu menjadi salah satu agent of change pembelajaran di sekolah, yaitu sosok pribadi seorang pengawas sebagai pembina kinerja guru profesional harus betul-betul berkualitas, antara lain:
(a) seorang pengawas harus paham secara teoritis dan aplikatif tentang beragam teori psikologi pembelajaran;
(b) seorang pengawas harus berwawasan integral, demokratik, visioner dan mempunyai keunggulan IESQ;
(c) seorang pengawas harus punya kemampuan multi, baik menyangkut disiplin keilmuan tertentu, managerial, komunikator/ motivator, dan humanis;
(d) seorang pengawas harus menguasai secara konseptual dan aplikatif tentang research pendidikan dengan beragam strategi atau pendekatan research; dan kemampuan lainnya sesuai dengan statusnya sebagai pengawas sekolah.
Diantara langkah yang dapat dilakukan pengawas dalam proses pembinaan kualitas profesional guru sebagai agen perubahan pembelajaran di kelas antara lain:
(a) membuat instrumen pemantauan kinerja guru profesional, yang memuat empat standar kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional) dan masing-masing kompetensi tersebut dijabarkan secara rinci kedalam beberapa indikator yang terukur. Instrumen tersebut harus disosialisasikan sejak dini pada semua guru untuk dipahami dan dilaksanakan;
(b) pelaksanaan pemantauan instrumen kinerja guru profesional tersebut dilakukan secara ‘silang proporsional’, yang melibatkan pengawas, kepala sekolah dan teman sejawat (guru) serta peserta didik (siswa); dan
(c) pada akhir tahun pelajaran dilakukan evaluasi yang melibatkan pengawas, kepala sekolah dan guru yang bersangkutan secara ‘bijak’, artinya baik pengawas, kepala sekolah maupun guru sama-sama melakukan refleksi atau instropeksi tentang optimalisasi kinerja sesuai dengan instrumen standar kompetensi yang telah disusun.
Ketika proses pembinaan kualitas kinerja guru berjalan dengan baik, kemudian diikuti dengan peningkatan kualitas kinerja guru berdasarkan instrumen-instrumen kompetensi profesional, maka diasumsikan guru tersebut akan mampu berperan dalam peningkatan kualitas pembelajaran siswa di kelas (Nasution, 2006; Wahab, A.A., 2007; Hamzah.B.U., 2008), hal ini secara otomatis menunjukkan bahwa guru mampu berperan secara positif sebagai salah satu agent of change pembelajaran di sekolah.
Kelima, dalam rangka memudahkan aktivitas guru untuk mewujudkan beragam kompetensi profesinya, maka pemerintah dan warga masyarakat harus tetap punya komitmen dalam penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran dengan baik, karena ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran secara baik akan mampu meningkatkan kualitas proses pembelajaran siswa di sekolah  (Atmadi, ed., 2000; Supriadi, D. 2004).
Disamping penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran di sekolah secara baik dan lengkap, pemerintah harus tetap konsisten dalam mengupayakan peningkatan kualitas kesejahteraan guru. Untuk merealisaikan dua hal tersebut pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional telah mengeluarkan:
(a) Permendiknas nomor 24 tahun 2007 tentang Standar sarana dan prasarana;
(b) Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi guru dalam jabatan;
(c) Permendiknas Nomor 40 tahun 2007, tentang Sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan.
Ketika sarana dan prasarana pembelajaran tersedia dengan baik, kesejahteraan guru terjamin dan diikuti dengan tumbuhnya sikap mental positif pada diri setiap guru sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka diasumsikan guru akan mampu meningkatkan kualitas profesionalnya (Soetjipto dan Kosasi, 1999; Usman, M.U., 2000), sehingga guru akan mampu berperan sebagai agen perubahan (agent of change) pembelajaran siswa di sekolah.
Sebagaimana yang telah diurakan di atas, pada hakikatnya potret seorang guru yang mampu berperan aktif sebagai agen perubahan pembelajaran siswa di kelas, antara lain:
(a) mempunyai wawasan yang cukup luas tentang beragam teori psikologi perkembangan atau teori pembelajaran, dan mampu menerapkan secara ‘bijak’ dalam proses pembelajaran di kelas;
(b) mempunyai sikap mental positif terhadap perkembangan Iptek dan selalu berusaha mewujudkan proses pembelajaran di kelas dengan nuansa demokratik, humanis dan multikultural;
(c) selalu menjadi contoh teladan terbaik bagi anak dalam segala pola aktivitas hidupnya, baik menyangkut aspek mentalitas, aspek pola prilaku sehari-hari dan pola berpakaian;
(d) selalu melakukan pemantauan perkembangn hasil belajar siswa dengan menggunakan sistem evaluasi yang baik dan integral yang menyangkut tujuh aspek yaitu: penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap (afektif), penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil karya siswa (potofolio) dan penilaian diri (self assessment); dan
(e) selalu berusaha meningkatkan kualitas diri dalam membuat karya tulis ilmiah yang berkaitan langsung dengan inovasi pembelajaran.



BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan analisis deskriptif kualitatif tentang ’Strategi Meningkatkan Peran Guru Sebagai Agent of Change Pembelajaran Siswa’ tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      terdapat beragam paradigma atau teori yang memandang tentang faktor kunci pendorong terjadinya perubahan sosial budaya di masyarakat. Keberagaman paradigma atau teori tersebut disebabkan oleh keberagaman orientasi filosofis dalam memahami hakikat sesuatu;
2.      ketika guru mampu meningkatkan kualitas kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesionalnya secara maksimal, diasumsikan guru tersebut akan mampu menjadi salah satu agent of change pembelajaran siswa di kelas dengan baik; dan
3.      diantara langkah strategis dalam meningkatkan peran guru sebagai salah satu agent of change pembelajaran siswa di sekolah adalah:
a)      membangun kualitas mentalitas positif setiap guru;
b)      melalui ’tim inovasi pembelajaran’ di setiap satuan pendidikan, guru dilibatkan secara aktif-kreatif dalam mengembangkan kemampuan prefesionalnya
c)      membangun kerjasama sebagai team work dalam memajukan satuan pendidikan melalui enam konsep;
d)     pengawas sekolah melakukan pembinaan secara inten dan sistematis tentang pengembangan kualitas profesional guru; dan
e)      meningkatkan kualitas sarana parasarana pembelajaran di sekolah dan meningkatkan kesejahteraan guru.

DAFTAR PUSTAKA
           
Rogers, Everett, M.,Diffusion of Innovation, Fourth Edition. New York: Collier Macmillan Publishing Co, Inc., 1995
Agustian, Ary G. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual (ESQ). Penerbit ARGA. Jakarta.
Arifin, 2007. “Problematika SDM “Guru” Dalam Penerapan KTSP (Sebuah Renungan mencari jalan keluar)”. Jurnal, Media, Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur. No. 08 /Th.XXXVII / Oktober 2007. hal: 62-65.
BSNP, 2006. Standar Isi. Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta.
Budiman, A,. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Djohar, 1999. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia. IKIP. Yogyakarta
Giddens, A.. 2001. Runway World. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Hagen, E. 1962. On the Theory of Social Change. Homewood, Dorsey Press.
Hamzah.B.U., 2008. Model Pembelajaran. Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif dan Efektif. PT. Bumi Aksara. Jakarta
Koentjaraningrat, 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta.
Lauer, R.H. 1978. Perspectives on Social Change, 2nd edition. Allyn and Bacon. Inc. Boston.
Mc-Clelland, D., 1961. The Achieving Society. New York, Rree Press.
Nasution, 2006. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Oemar Hamalik. 2002. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Bumi Aksara. Jakarta.
Sagala, S. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran (Untuk membantu memecahkan problematika belajar dan mengajar) Penerbit Alfabeta. Bandung
Sanjaya, W. 2007. Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Seligman, Marttin.E.P. 2005. Authentic Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential For Lasting Fulfillment. Penerjemah. Eva Yulis. Authentic Happiness, Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif. PT. Mizan Pustaka. Bandung
Soetjipto dan Kosasi R. 1999. Profesi Keguruan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Supriadi, D. 2004. Satuan Biaya Pendididkan Dasar dan Menengah. Rujukan bagi Penetapan Kebijakan Pembiayaan Pendidikan pada Era Otonomi dan Manajemen Berbasis Sekolah. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung
Sztompka. 2004. The Sociology of Social Change. Diterjemahkan Alimandan. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada Media. Jakarta.
Tilaar, 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Rineka Cipta. Jakarta.
Usman, M.U., 2000. Menjadi Guru Profesional. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung
Wahab, A.A., 2007. Metode dan Model-Model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Alfabeta. Bandung
Wuryani, S.E.D, 2002. Psikologi Pendidikan. PT. Gramedia Indonesia. Jakarta.
*) Artikel Juara ke I, Lomba LKTI Tingkat Regional (Jawa Timur) di Majalah Media Pendidikan, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur 2009.